Bagi kalian yang mencintai
dunia perfilman, kalian wajib mengetahui sejarah perkembangan dalam industri
perfilman. Industri perfilman dimulai dengan pembuatan film-film pendek pada
tahun 1920-an. Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film
indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film
cerita panjang, film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih
leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai
sebuah batu loncatan menuju film cerita panjang.
Dalam perjalanan sejarahnya, film pendek adalah
cikal bakal film panjang di bioskop. Tentunya karena awalnya film tidak bisa
merekam suara dan warna. Dahulu film-film dengan durasi 5 – 10 menit selalu
ditonton dengan antusias. Kebanyakan dari genre film yang diputar pada masa itu
(1920-an) adalah film kartun dan komedi. Sebagai contoh, film-film Charlie
Chaplin adalah film-film pendek pertama yang saat pemutarannya di bioskop
selalu mengundang penonton yang antusias.
Selain itu, faktor ekonomi pada masa Great
Depression di Amerika Serikat juga mempengaruhi durasi film. Sehingga pada
tahun 1930-an, distribusi film-film pun berubah. Film-film pendek justru
perlahan-lahan tergusur karena film-film yang diproduksi menggunakan satu reel
film panjang untuk durasi yang lebih panjang. Sehingga biaya distribusi bisa
ditekan dan lebih hemat. Padahal jaman dulu, rumah-rumah produksi banyak yang
khusus hanya memproduksi film pendek. Kalaupun mereka produksi film panjang,
durasinya tidak lebih dari pada 40 menit.
Walaupun dalam perkembangannya film panjang
menjadi lebih bergengsi, banyak para sineas internasional dan nasional yang
musti berterima kasih pada film pendek. Karena dari sinilah nama-nama mereka
dikenal dunia gara-gara berkeliling berbagai festival film yang merayakan
keberadaan film pendek dan memberikan apresiasi yang sepadan untuk para
penggiatnya.
Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’
mulai populer sejak tahun 50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang
dimulai dari Jerman dan Perancis. Para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman
dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian
muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek
tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de
Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini
muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa.
Festival-festival film pendek menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat
pengunjung, apalagi kemudian didukung dengan banyak munculnya cinema house
bervolume kecil untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampir setiap
sudut kota di Eropa.
Di Indonesia, film pendek sampai saat ini selalu
menjadi pihak marjinal –sekali lagi, dari sudut pandang pemirsa- .Film pendek
memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Secara praktis, film pendek
Indonesia mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak adanya
pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para penikmat film pada era 70-an
dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan
film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Film
Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang diterima oleh festival
tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat disayangkan kemudian
Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena kekurangan dana.
Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang
dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus
mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai
media ekspresi kesenian.
Hubungan internasional mulai terbangun, di
antaranya dengan para film maker Eropa terutama dengan Festival Film
Pendek Oberhausen, ketika untuk pertama kali-nya film pendek Indonesia
berbicara di muka dunia di tahun 1984. Keadaan ini memancing munculnya Forum
Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa
dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun jaringan
yang baik di kalangan pemerhati film.
Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua
tahun saja. Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang
dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan
ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam
negeri. Padahal di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia
cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot
Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang
Istiabudi.
Sumber : MJ EDUCATION.COM
0 komentar:
Posting Komentar