Minggu, 23 Desember 2012

broadcasting film




Bagi kalian yang mencintai dunia perfilman, kalian wajib mengetahui sejarah perkembangan dalam industri perfilman. Industri perfilman dimulai dengan pembuatan film-film pendek pada tahun 1920-an. Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang, film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan menuju film cerita panjang.
Dalam perjalanan sejarahnya, film pendek adalah cikal bakal film panjang di bioskop. Tentunya karena awalnya film tidak bisa merekam suara dan warna. Dahulu film-film dengan durasi 5 – 10 menit selalu ditonton dengan antusias. Kebanyakan dari genre film yang diputar pada masa itu (1920-an) adalah film kartun dan komedi. Sebagai contoh, film-film Charlie Chaplin adalah film-film pendek pertama yang saat pemutarannya di bioskop selalu mengundang penonton yang antusias.
Selain itu, faktor ekonomi pada masa Great Depression di Amerika Serikat juga mempengaruhi durasi film. Sehingga pada tahun 1930-an, distribusi film-film pun berubah. Film-film pendek justru perlahan-lahan tergusur karena film-film yang diproduksi menggunakan satu reel film panjang untuk durasi yang lebih panjang. Sehingga biaya distribusi bisa ditekan dan lebih hemat. Padahal jaman dulu, rumah-rumah produksi banyak yang khusus hanya memproduksi film pendek. Kalaupun mereka produksi film panjang, durasinya tidak lebih dari pada 40 menit.
Walaupun dalam perkembangannya film panjang menjadi lebih bergengsi, banyak para sineas internasional dan nasional yang musti berterima kasih pada film pendek. Karena dari sinilah nama-nama mereka dikenal dunia gara-gara berkeliling berbagai festival film yang merayakan keberadaan film pendek dan memberikan apresiasi yang sepadan untuk para penggiatnya.
Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’ mulai populer sejak tahun 50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan Perancis. Para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampir setiap sudut kota di Eropa.
Di Indonesia, film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal –sekali lagi, dari sudut pandang pemirsa- .Film pendek memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Secara praktis, film pendek Indonesia mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak adanya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para penikmat film pada era 70-an dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena kekurangan dana.
Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian.
Hubungan internasional mulai terbangun, di antaranya dengan para film maker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk pertama kali-nya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun jaringan yang baik di kalangan pemerhati film.
Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja. Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Padahal di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi.

Sumber : MJ EDUCATION.COM




0 komentar:

Posting Komentar